Pelayaran, Perdagangan dan Silang Budaya
Nabi Muhammad SAW bersabda kepada para sahabatnya di Tanah Hejaz (Semenanjung Arabia) pada abad VII M “Carilah ilmu walau sampai di Negeri Cina.” Jika kita kaitkan sabda ini pada konteks sejarah geopolitik dan ekonomi, dimana jalur pelayaran dan perdagangan kuno menghubungkan antara daerah semenanjung Arabia, Persia, India, Cina dan Nusantara yang telah dikenal sejak lama, bahkan telah berlangsung sejak 700 SM menurut sejarawan Brandell (Habib Moestopo, 2001:126). Maka kita menemukan banyak makna menarik di luar makna normatif sabda tersebut sebagai kewajiban mencari ilmu. Dari sudut pandang kita yang sedang mempelajari dinamika lokalitas di dalam relasi budaya antara kawasan Nusantara dengan kawasan Arab, maka kita seperti mendengar suatu respon dari kawasan Nusantara terhadap sabda tersebut, “Kalau pergi ke Negeri Cina, pastikan singgah dan mampirlah juga di Tanah Jawa, di Nusantara. Semoga ada hikmah untuk kita bersama.” Kelak respon ini terbukti efektif, jika dilihat dari fakta hari ini yang menunjukkan bahwa jumlah para habaib (keturunan Nabi Muhammad) yang tinggal di wilayah Nusantara merupakan yang terbesar dibanding dengan kawasan-kawasan lain di dunia.
Nusantara merupakan satu-satunya “pintu” jalur perdagangan laut bagi kapal-kapal dagang Basrah, Siraf, Oman, Persia, India, dan Srilangka yang akan menuju Cina, begitujuga sebaliknya. Jalur perdagangan tersebut telah melimpahkan bermacam-macam keuntungan bagi penguasa-penguasa dan masyarakat di Nusantara. Dari perdagangan antar bangsa hingga pajak-pajak yang dipungut dari kapal-kapal dagang yang singgah dengan komoditas yang menguntungkan. Cina merupakan produsen utama sutera dan keramik, sedangkan India merupakan produsen utama kain katun. Mereka membutuhkan hasil hutan, pertanian, tambang, rempah-rempah dan hasil-hasil produksi yang hanya bisa diperoleh di Nusantara seperti lada, pala, gading, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, timah, emas, permata, malam, mutiara, kulit penyu. Jalur perdagangan laut di Nusantara yang begitu besar dari abad k-9 sampai abad ke-17 dibuktikan dengan Keberadaan keramik Cina dari zaman Dinasti Han, Tang dan Song yang banyak ditemukan di candi Ratu Baka dan candi Sewu (Woodward, 1977), dan keramik dari Dinasti Ming yang banyak ditemukan di sepanjang pantai utara Jawa dan Sulawesi selatan (Lombard, 1972).
Orang-orang jawa kuno sejak masa Mataram Kuno sampai Majapahit telah mengenal satuan mata uang seperti picis (terbuat dari bahan tembaga, dengan nilai terendah), yang merupakan mata uang Cina. Hal ini menunjukkan bahwa perniagaan antar bangsa melalui jalur laut sudah dikenal masyarakat Jawa Kuno.
Pertukaran budaya juga terlahir melalui mobilitas dan migrasi orang-orang antar bangsa termasuk para pedagang dari Arab dalam hubungan perdagangan. Dengan adanya kosa kata Bahasa Arab yang diserap ke dalam Bahasa Jawa Kuno pada masa Kerajaan Kediri sekitar abad XII menunjukkan telah terjadinya kontak budaya melalui perdagangan. Seperti kata gedah yang diserap dari bahasa Arab qadah, yang berarti gelas minum yang besar. Karena huruf Q yang diucapkan oleh logat bahasa Arab Selatan menjadi G maka kata itu akhirnya berubah menjadi gedah. Kemudian kosa kata Bahasa Arab lainnya yang juga diserap adalah Kaluwa. Kaluwa adalah makanan yang manis, semacam manisan. Di dalam Bahasa Arab disebutt hulwa atau hal(u)wa.
Silang Budaya, Silang Agama
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu-wahyu Islam pada awal abad VII M, yang tentu saja membawa hubungan antara kawasan Arab dengan Nusantara memiliki motivasi baru, yaitu penyampaian ajaran atau dakwah. “Sampaikan ajaran-ajaran dariku, walau hanya satu ayat,” sabda yang juga sangat masyhur ini juga ikut menggerakkan pada penyampaiannya. Catatan sejarah memberitakan para pedagang Persia dan golongan Alawiyin (keturunan Ali bin Abi Thalib) telah singgah di kota-kota pelabuhan, seperti Sumatera dan Semenanjung Malaya pada pertengahan abad ke-7 dalam perjalanan menuju Cina.
Dakwah Islam di Nusantara sudah dilakukan sejak pertengahan abad ke-7, namun sebetulnya Islam berkembang begitu lambat di kalangan bumi putera. Islam hanya masih dianut oleh pedagang-pedagang dan pendatang dari Arab, Persia, India dan Cina. Dalam historiografi lokal, Cheng Ho menjadi legenda bagi penduduk nusantara. Dikisahkan Cheng Ho meninggalkan para mubaligh-mubalighnya di Jawa dan Sumatera untuk berdakwah. Namun ajaran Islam di kalangan penduduk pribumi belum bisa menyebar secara luas oleh para mubaligh tersebut. Haji Ma Huan yang mengikuti perjalanan ketujuh Cheng Ho ke tanah Jawa yang berlangsung antara tahun 1431-1433 Masehi, menuturkan bahwa terdapat tiga golongan penduduk di Jawa saat itu. Golongan pertama, adalah penduduk Islam dari barat yang telah menjadi penduduk setempat. Sandang dan pangan mereka bersih dan pantas. Golongan kedua, orang-orang Cina yang lari dari negerinya dan menetap di Jawa. Sandang dan pangan mereka baik, dan diantara mereka banyak yang memeluk Islam serta taat melaksanakan ibadah. Sedang golongan ketiga, penduduk asli yang sangat jorok dan hampir tidak berpakaian. Rambut mereka yang tidak disisir, kaki telanjang dan mereka sangat memuja roh. (Arnold, 1913; Budiman, 1978; Hirth, 196).
Arab Digarap, Jawa Digawa
Kerajaan Majapahit dengan peradaban Hindu-Budha nya saat mengalami kemerosotan yang dikarenakan berlarutnya perang saudara memperebutkan tahta kerajaan sepeninggal Prabu Hayamwuruk di antara para bangsawan. Menyebabkan demoralisasi dan krisis tatanan nilai besar-besaran di semua sektor kehidupan.
Dengan berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak pada akhir abad XV, merupakan momentum penting dalam konteks pertemuan budaya antara kawasan Arab dengan Jawa. Kerajaan Demak yang disangga oleh Walisanga, segera mengambil langkah strategis untuk mengembangkan agama sekaligus membangun kembali peradaban Jawa yang sudah runtuh tersebut. Prinsip yang dikembangkan dalam proses transvaluasi nilai-nilai lama dan melahirkan nilai-nilai baru itu adalah keselarasan dan keseimbangan. Sunan Kalijaga dalam proses transvaluasi ini mengungkapkan dalam suluk Syekh Melaya: “anglaras ilining banyu, angeli tan keli” (menyelaraskan berbagai aliran air di dalam sungai, ikut mengalir tapi tidak terbawa arus).
Bersamaan dengan merosotnya Hindu-Budha di lingkungan brahmana dan ksatria Majapahit, kemunculan kembali agama-agama rakyat kuno pemujaan leluhur jawa di satu sisi dan di sisi lain oleh gerak pasang Peradaban Islam di berbagai kawasan dunia seperti Turki Utsmani di Timur Tengah, Imperium Moghul di India dan Imperium Shafawiyah di Persia, yang gelombang ekspansinya juga melanda kawasan-kawasan pesisir Nusantara.
Peralihan damai dan kesinambungan serta keselarasan ruhani antara Peradaban Hindu-Budha jawa ke Peradaban Islam Jawa memiliki kisah simbolik yang dikisahkan oleh Elizabeth Inandiak melalui tembang-tembang dalam Serat Centini, dalam dialog antara Sunan Kalijaga dan Prabu Yudhistira:
Kalijaga berupaya menemukan kiblat di kerimbunan hutan, menghadap ke Mekah, selesai menyebut nama Allah, Bismillahirrahmanirrahim, lalu menggurat di tanah sepenuh empat deret kali empat baris, ke enam belas bilangan empat angka surat Al-Fatiha yang ia baca dalam hati dan ia tebarkan di hembusan napasnya. Mantra angka itu menggetarkan nyanyian serupa di dada Yudhistira dan tangan kanannya tiba-tiba membuka, melepaskan jimatnya. Itulah sebuah daun pandan halus dan digulung dan diikat benang sutera. Kalijaga membuka simpul benang itu dan membaca: Kalimasaada.
Yudhistira masih terpana:
Itu nama buku wasiat yang berkekuatan menghidupkan kembali para pahlawan yang mati belum waktunya. Tapi kematianku sebaliknya tak kunjung tiba. Kecuali barangkali bila membaca kelima usaada, kelima obat sang buddha untuk melewati kehidupan tanpa terlalu duka.’’
Kalijaga berbicara,hati-hati tetapi pasti:
Oh, raja Yudhistira, masing-masing membaca melalui mata keyakinannya. Melalui mata baru Islam, aku membaca kalimah syahadat, pernyataan orang-orang Islam bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad SAW adalah utusan Allah. Adapun paduka tidak menemukan jalan kematian, itu karena terikat pada jimat, tiada lain adalah agama bentuk, agama paduka, agamaku dan agama lain–lain yang bahkan kita belum kenal. Mesti agama adalah pedoman mutlak manusia di dunia, ia bisa menjadi rintangan saat waktu tiba untuk meninggalkan raga demi kemanunggalan kawula gusti. Untuk mati dalam kemanuggalan, kita harus bisa melupakan rupa dan tak menyebut lagi. Kita harus naik menuju niat tunggal yang memancarkan kebhinekaan rupa dalam sebutan. Oh raja Yudhistira, begitulah paduka telah terbebaskan dari segala rintangan.
Yudhistira membuka kotak itu dan dari dalamnya mengeluarkan daun lontar yang diatasnya tergurat lima sosok: dirinya dan keempat saudara pandawanya. Ia membeberkan sisilah marga bharata, sejak malam perkawinan Shantanu dengan Dewi Gangga serta mengisahkan Bharatayudha kepada Kalijaga:
‘’Semoga saudara bisa menceritakan kisah ini sebagai renungan kenangan wajib. Untuk itu, dandanilah sosok-sosok itu dengan kulit seekor kerbau, hiasilah dengan tulangnya yang ditumbuk halus dengan bubuk berwarna dan gerakkanlah mereka dengan tanduk kerbau tadi yang dihaluskan menjadi tongkat tangkas. Namailah pagelaran wayang karena, lihatlah saudaraku, baru saja rupa sirna , bayangannya berkilau sudah.’’
Raja Yudhistira lalu langsung redup dalam pancaran aram temaram, ia berhasil naik ke surgaloka. Kalijaga mengubur jenasahnya di kaki beringin secara Islam dan pergi menyusuri jalan–jalan di Tanah Jawa untuk menyiarkan Nur Muhammad berbekal Quran serta kotak wayang.’’
Seni petunjukan wayang digunakan sebagai medium peralihan damai dan kesinambungan yang selaras. Sejak zaman prasejarahnya, pertunjukan wayang sudah dikenal orang-orang jawa sebagai ritual pemujaan leluhur. Para wali kemudian datang dan membaharui format pertunjukan wayang secara dinamis, estetis dan fungsional sebagai medium pendidikan masyarakat. Pertunjukan wayang purwa adalah benar-benar hasil kreasi para walisongo terutama Sunan Kalijaga dalam mereformasi secara menyeluruh seni pertunjukan wayang.
Di dalam Dewan Walisanga para wali bermusyawarah untuk mengembangkan rumusan ajaran dasar Islam secara tepat untuk diselaraskan dengan berbagai kecenderungan keagamaan, budaya dan kesadaran yang sedang saling bersaing silang sengkarut di tengah masyarakat. Pada saat bersamaan beberapa ajaran Islam dipribumisasikan ke dalam istilah yang sudah dikenal seperti kalimat syahadat dikenal sebagai kalimasada, sholat disebut dengan sembahyang, shoum/shiyam dikenal sebagai puasa (upawasa) dan sebagainya. Dan juga sistem penanggalan antara kalender Hijriyah dari Arab dengan kalender Saka dan Jawa mulai diselaraskan. Penanggalan tersebut baru efektif diberlakukan pada masa Sultan Agung di Mataram.
Tidak lupa, para Walisanga juga menggali khazanah kuno Jawa yang tertulis dalam naskah-naskah berbahasa Kawi peninggalan kerajaan-kerajaan sebelumnya, dari Mataram Kuno sampai zaman Majapahit. Kitab-kitab tersebut, dibaca ulang, ditafsirkan kembali dan diselaraskan dengan ajaran-ajaran Islam (terutama tasawuf) untuk kemudian diajarkan kembali di tengah-tengah masyarakat.