“Sejatining Roso kuwi Ngroso, Ngrasaake lan Ngrumangsani”
Senja tiba di bilangan dusun Klenggotan. Lelaki itu melanjutkan penjelasannya, “yo kuwi mung jarene wong- wong tuwo mbiyen, tapi keno tak nggo cekelan”. Sorot matanya merdeka dari keraguan. Duduk di sisi kanan kursi panjang, tepat di tepian teras salah satu bangunan dalam kompleks yang oleh orang-orang sekitar disebut pondok. Adzan Isya’ menyeruak dari corong masjid yang masih sepelemparan batu dari tempatku memperhatikan bicaranya. Tak lama beberapa kawan-kawan santri yang menetap di pondok, telah berkemeja rapi berpeci, menenteng rebana, satunya menjinjing kendang; Dan lelaki yang tadi banyak bercerita padaku, segera beranjak. “iki mau pecine sopo, tak sileh sek” sergahnya. Peci hitam berhias motif warna emas itu bertengger di kepalanya, memahkotai rembutnya yang panjang berkelok. “iyo mas, dinggo wae” ucap salah satu santri yang mendekap buku merah, bertuliskan huruf arab. Maulid Ad-Diba’i.
ɣ
Siapa sangka, pada sebuah bantaran kali yang sepi dan rimbun oleh semak dan pohonan, kemudian dibangunkan sebuah ruang untuk mengaji, berdiskusi dan berkesenian. Lahan yang dahulu mungkin hanya diramaikan kawanan nyamuk, dengung tawon, gelagat biawak hingga suara hening yang sesekali menyela derit bambu, maupun desau angin yang gerayangi tubuh dedaun. Suasana yang biasa menimang para pemancing ikan. “Mriki niki riyin kebonan mas, kulo nyekseni pembangunane pondok mriki” terang pria paruh baya yang menjadi salah satu tetangga terdekat. Sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu sejak kompleks bangunan pondok, lengkap dengan pendopo apiknya ini berdiri di tepi timur sungai kaliopak. .
Hampir dua tahun sejak pertamaku berkunjung dan terkadang mulai kerasan numpang di pondok bernama kali ini; Sempat di suatu siang mampir ke warung terdekat guna membeli kerupuk dan sabun cuci piring. “Prei po le kuliah Mas” tanya sang Ibu pemilik warung sembari menyuapi
putri perempuan ciliknya. Pikirku, memang sudah hafal betul orang sekitar sini, bahwa siapapun anak muda yang muncul dari sana, adalah santri yang juga mahasiswa. Entah menetap (santri mukim) atau cuma sesekali (santri kalong), bahkan cuma pengangguran kelayaban sepertiku, toh dicap: wong kuliahan.
ɣɣ
Kini tiba malam yang lain, lelaki itu datang lagi, rupanya untuk terlibat dengan kegiatan pondok. Kebetulan sejak setahun terakhir rutinitas di pondok ini mulai digiatkan. Aku ingat ungkapan salah seorang tetangga lainnya yang rumahnya di sisi utara, Ia tampak nyaman dan nikmat menyeruput secangkir kopi yang biasa disuguhkan, lalu berucap: “Saiki nyenengke mas, mulai rame meneh”. Terbukti hingga tulisan ini diketik, hampir di setiap malam ada kesibukan di pondok ini.
Malam senin ada Sholawat Jawi Emprak, malam selasa hadrohan, lalu malam rabu yang rutin digelar diskusi bertajuk “Ngaji Dewa Ruci” yang didahului pembacaan Rotibul Khadad, dan malam kamis mulai digalakkan mocopatan. Giliran pada Jum’at malam, dilangsungkan pembacaan sholawat diba’ disusul pengajian kitab Idhotun Nasyi’in. Sewaktu Lelaki itu tandang, persislah jadwal mocopatan yang diampu Mbah Kadi, seorang pelaku kesenian yang telah lama berdedikasi dan berkiprah menghidupkan kesenian di pondok yang bak sanggar ini. Sayang sekali malam ini Mbah Kadi, berhalangan hadir. Namun bukanlah suatu alasan buat absen, maka pendopo dalam temaram menyulih petang dengan pukau mocopatan, Bersama-sama kawan-kawan santri dan beberapa tamu-tamu yang asyik masyuk. Dengan enteng, Lelaki tadi memulai menembangkan lirik bawa. Bawa adalah sebutan untuk vokal pembuka sebelum suatu gendhing atau irama musik dimainkan. Disusul bait demi bait bergantian, lalu dikidungkan bersama-sama. Terjalinlah harmoni nan syahdu menenangkan. Akhirnya mebdekati pertengahan petang, mocopatan undur diri.
Kudekati pendopo nan mulai menyepi, dan tinggallah lelaki itu dan kawannya. Di tengah lamunan, aku berbaring di sisi gender yang tadi digunakan buat mengiringi mocopatan. Lelaki itu kembali melanjutkan pembicaraan, seolah bersambung dengan episode obrolan kemarin. Kalimat di awal tulisan ini, kembali diucapkannya. Aku pun tergoda kian bertanya banyak hal tentang dirinya. Saat itulah, Lelaki kelahiran Blitar itu berbicara mantap, dengan suara sedang, sambil menatap kawannya, lelaki yang sebenarnya lebih senior darinya; Salah seorang warga dusun Klenggotan yang sejak lama telah turut menghidupkan aktivitas kesenian di pondok ini. Aku menatap penuh gestur pembawaan Lelaki itu, khusyu’ mendongengi kawannya. Ketika bercerita masa lalunya, retorikanya meledak-ledak tapi tampak mawas diri. Melampaui suka duka, dari seorang lulusan SMA yang merantau ke pedusunan Jogja, hingga sengkarut pengalamannya termasuk beberapa tahun bekerja di negeri Jiran.
ɣɣɣ
Malam telah melampaui tengah malam. Ada sekian tutur katanya yang menancap di benakku:
“Aku milih kesenian, wong yo keluargaku ndisik yo nang jalur kesenian. Mung saiki wes ora, dilanjutke wong liyo. Nang
keluargaku tinggal aku dewe sing nyinau kesenian, wong yo nambah ngelmu, nambah seneng, timbang mung kesel kerjo ngurus kayu thok”.
Demikian terangnya. Mbah Wowo nama kakek dari bapaknya, seorang maestro pendiri Jaranan bernama Turonggo Joyo, pada salah satu desa di Blitar. “Aku pas SMP, Mbah Wo seda, aku durung sempet akeh sinau, ning mung sempet dikon poso ngrowot”, tukasnya. “Iki fotone” disodorkan foto dari layar gawainya, wajah lelaki berpeci, agak buram, mungkin karena foto yang dipotret sudah disepuh waktu. “umure 100an luwih, ning iseh kuat mlaku adoh” imbuhnya lagi. Aku tercenung membayangkan.
Kucoba mengingat-ingat penjelasannya lagi, kurang lebihnya demikian:
“Aku melu emprak yo gek tahun-tahun wingi, pertamane yo diajaki iki (menunjuk lelaki di hadapannya), saiki nambah hadrohan, aku njuk mileh hadrohane kene, bojoku melu
hadroh cerak omah… Wingi ono tobggo sing ngomongi, wah saiki sibuk koyo pejabat, hiyo jawabku, kesempatan ora teko ping pindo, mulane aku ngewaneni metu, ketemu sedulur anyar, timbang mung angkrem ngomah”.
Penjelasan itu beberapa kali diulangnya, sampai jadi semacam penegasan. Seketika aku terhubung dengan tema pameran besok, Nguwongke alias memanusiakan manusia.
Aih, aku tak punya kesimpulan selain kian tak sabar ingin menonton kawan-kawan santri dan tentunya Lelaki satu ini menampilkan Hadrohan di pembukaan pameran. Pamerannya sih jelas seni rupa. Tetapi dari penampilan pembukanya, kutahu rupa-rupa seni dihidupi di sini. Bukan mengagetkan jika pameran sekaligus meresmikan Galeri baru di pondok ini. Pun galeri kesenian sejati yang bersemayam pada masing-masing jiwa manusianya. Entah yang turut menghidupi atau yang hanya mendengar kisahnya. Toh tanpa pendengar, kesenian mustahil punya daya hidup. Kebetulan, pernah suatu ketika Lelaki itu menembangkan syair gubahan Sunan Kalijaga, kebetulan kala itu anaknya yang paling kecil sedang demam dan sulit tertidur. Dipangkuannya, sang anak diselimuti kidungan bowo kunci;.”Lha kok ngerti-ngerti turu bocahe”. Entah ini lullaby khas dari kita atau memang khasiat doa di dalam liriknya, yang pasti aku tenggelam dalam caranya blakasuta. Sebentar pembaca, tunggu dulu, masih satu lagi yang kuingat dari ceritera Lelaki itu, begini kurang lebihnya:
“Aku mung tau krungu wong sing ngangsu kawruh nang Mbah Wo, ngudar rasa: Urip sejati, sejatining urip. Nek urip sejati kuwi yo uripe menungso, kadunungan urip. Lha nek sejatining urip kuwi yo Gusti Allah.”
Dini hari sudah membujuk pulang, lelaki itu dan kawannya berpamitan. Kembali rebahan sejenak di samping gender. Duduk buat mencoba bunyikan gender. Segera teringat merdunya bawa yang ditembangkan Lelaki itu, dan yang nyantol di kepala cuma dua frasa: “He poro menungso iki jaman wes tuwo…. Ojo turu sore kaki…”.