Bagaimana kita bisa menilai sesuatu indah atau tidak? Adakah keindahan bisa dibahasakan secara lisan atau tulisan? Cukupkah bahasa manusia menggambarkan keindahan? Apakah keindahan semata hanya mendekam dalam seni – apapun bentuknya?
Deret pertanyaan di atas muncul di kepala saya begitu mendengar kata “Kembulan”, yang bagi saya terasa lebih pas disebut peristiwa – ketimbang disebut semata sebagai pameran seni. Seni itu sendiri bagi saya terbatas, dalam arti peristiwa yang mau dilukiskan oleh seniman hanya bisa dipahami sepenuhnya oleh seniman.
Kurator, penulis seni, atau peneliti, hanya bisa bergerak sebatas memberi tafsir; pemaknaan yang bisa jadi berjarak dari intensi akan keindahan yang coba ditawarkan seniman lewat medium apa pun. Walau begitu di sini saya tidak bermaksud menggugat peran kurator dan kawan-kawannya itu.
Yang ingin saya sentuh ada di wilayah seni, serta usaha sebagian manusia yang agaknya tak pernah putus berikhtiar menawarkan keindahan ke depan mata siapa pun yang menatapnya. Bagi saya, kemanusiaan bisa ditawarkan lewat keindahan, walau keindahan itu sendiri rasanya tak bisa dikurung semata lewat seni.
Saya ingin bercerita sedikit tentang orang kampung yang baru pertama kali berkenalan dengan seni lewat acara lokakarya, yang kebetulan diselenggarakan lewat festival kesenian. Setahun lalu saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang bagaimana bocah kecil tersenyum sembari menggambar di atas kertas di hadapannya.
Anak kecil itu tak bisa lepas dari kertas dan kuas yang ada di hadapannya. Sambil terus menggambar kipas biru bertuliskan ‘PSIM’, dia tampak antusias dan bersemangat mencampur warna, mengatur komposisi, sekaligus mengatur objek mana yang semestinya ditonjolkan di atas kertas.
Seterusnya sore hari muncul, dan kami mesti menyudahi acara lokakarya itu. Tapi rupanya si anak tak mau lepas dari kertasnya. Dia terus menggambar, menambahi ini itu, seakan tak peduli bahwa acara sudah hampir selesai dan senja mulai mengintip dari Barat.
Sampai sekarang saya tak bisa menemukan kata yang tepat untuk melukiskan dengan kenikmatan seorang bocah kampung itu, apalagi ketika berhadapan dengan kertas dan kuas di depan matanya. Mungkin dia tergila-gila karena bertemu hal baru; atau dia memang dari dulu pengin menggambar namun tak pernah punya kesempatan.
Dari satu fenomena kecil itu saya percaya seni merupakan milik siapa saja. Ia bukanlah makhluk yang hanya ada di galeri seni; juga bukan entitas yang hanya dimiliki oleh orang yang menyandang status kultural sebagai seniman. Saya percaya, sebagaimana Tuhan yang jadi milik siapa saja, bahwa bingkai dimensi seni semestinya meluas melampaui ruang galeri.
Kembulan pun begitu. Bagi saya ia bukan pameran seni, bukan pula milik institusi. Ia adalah peristiwa yang mempertemukan siapa pun yang mencintai keindahan, dan mau mendekat kepadanya, sebisanya.
Pun kalau seni–sebagaimana yang umumnya kita pahami–masih digunakan layaknya sebuah pameran seni diselenggarakan, keindahan dan rasa bukan hanya bisa ditemukan lewat lukisan atau bentuk seni lainnya. Kembulan dimulai dari daun pisang, ketika orang-orang duduk melingkar melingkar di atasnya. Disana kita bisa beranjak bicara apa saja, sembari tertawa bersama.
Mungkin di titik itulah keindahan bisa jadi utuh. Seni yang mempertemukan manusia; seni yang menyetarakan manusia; seni yang memunculkan antusiasme ganjil – seperti si bocah yang tak mau lepas dari kertas di hadapannya; seni yang mengajak kita untuk bertamu dan bertemu banyak hal.
Keindahan itu sehari-hari, tak lepas dari hidup seorang manusia. Sadar atau tidak, kita semua adalah makhluk estetis yang selalu menyukai keindahan dalam segala hal. Bukankah Kembulan sedang mencoba menawarkan nilai semacam itu?