Tolong jangan berharap saya akan mengutip Hadis Nabi Muhammad Sallaulahu’alaihiwasallam, ucapan Gusdur, atau karya Aristotle yang berkaitan dengan kemanusiaan di dalam tulisan ini. Andai saja mereka bisa bangkit sebentar, mereka mungkin akan melipir sejenak dari jalan raya untuk duduk dan mengikuti kembulan. Setelahnya, sambil minum kopi, mereka bertanya ke orang-orang yang merokok, “Apakah kata-kata kami juga telah kalian bakar?”
Seorang mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhirnya secara bersamaan di empat perguruan tinggi terbaik di dunia Yogyakarta (UIN, ISI, UMY, UGM), yang sedari awal berbicara tentang diskursus kemanusiaan, terpelanting ke luar, nyangkut di atas pohon Kalimasada. Beberapa daunnya rontok. Seorang kyai dengan cepat memungut dedaunan yang jatuh, membawanya kembali ke lingkaran, kemudian menyusunnya sehingga membentuk tulisan:
Kemanusiaan
Akan rontok
Jika hanya dibicarakan
Sang mahasiswa melompat, dan tiba-tiba lari ke jalan raya. Ia menyaksikan, semua manusia berkendaraan dengan cepat seperti setan di ibu kota yang saling membalap. Dari arah seberang, seorang ibu yang memegang anaknya tak bisa bergerak maju. Mereka melambai-lambaikan tangan ke sang mahasiswa, meminta bantuan. Karena ia pernah mengalami hal demikian, maka, ia julurkanlah kedua tangan.
Memanusiakan manusia, saya rasa tidak bisa datang secara tiba-tiba tanpa disertai sebuah pengetahuan yang berasal dari sebuah pengalaman atau keteladanan. Sejak kecil, kita sudah menirukan ucapan, cara bergerak, dan bahkan cara berpikir orang-orang yang ada di sekitar kita. Itulah yang kemudian menjadi bekal sampai suatu saat seseorang duduk di bawah pohon dan mulai berpikir tentang diri beserta dunianya, yang salah satunya berisi tentang kemanusiaan.
Seperti seniman yang selalu melatih diri agar terjaga kualitas gambar, tarian, nyanyian, musik, dan aktingnya, begitu pula halnya dengan manusia yang ingin hidup secara berkemanusiaan. Sedikit saja malas berpikir atau bertindak, maka luput sudah.
Hal lain yang bisa mendukung peningkatan kualitas di atas adalah kemauan untuk mengembangkan diri, yang secara sederhana disebut dengan belajar. Dari sinilah kemudian kita bisa mendapatkan apa yang dinamakan dengan pengalaman atau keteladanan lebih lanjut.
Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya kemudian harus selalu dijalankan sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Saya beri contoh kecil: jika Anda menganggap mengantar tamu sampai ke depan rumah itu sebuah hal yang positif karena tamu akan merasa dihargai, maka Anda harus menjadikan hal tersebut sebagai sebuah kebiasaan. Orang lain kemudian akan melihat Anda dan menirunya. Begitu juga seperti sandal- sandal di masjid yang beberapa tahun ini sudah mulai tertata rapi—jika Anda anggap itu lebih enak dipandang. Sebenarnya, sesederhana itulah jika Anda ingin memanusiakan manusia.
Dari sini, bagi orang-orang yang berakal akan mendapat pelajaran tentang mengapa keteladanan itu seringkali dilakukan oleh para nabi, orang-orang mulia, dan orang- orang yang berilmu. Karena itulah metode yang paling efektif.
Oh, apa kabar si mahasiswa berprestasi di atas? Rupanya ia membawa si ibu dan si anak yang sejak pagi tak bisa makan ke ruang kembulan. Setelah kenyang, mereka berdiri, bergabung dengan orang-orang yang merindukan Nabi Muhammad Sallaulahu’alaihiwasallam, Gusdur, dan– mungkin juga— Aristotle, sambil mendendangkan salawat. Sedikit lewat TOA.