Pemilihan tema pada pameran seni rupa Kembulan #2 kali ini ingin mendalamkan makna kemanusiaan, karena puncak dari kesenian itu sendiri adalah kemanusiaan. Maka, kesenian merupakan jalan ikhtiar yang harus diretas setiap saat untuk memanusiakan manusia (Nguwongke), memuliakan manusia dan alam semesta raya (dirawat dan tidak dilukai) tidak hanya raganya, tapi juga jiwanya – adalah niscaya agar tidak menjauh dari konsep kesenian yang mengajarkan tentang cara hidup, mengajarkan cara manusia yang memanusiakan manusia, welas asih, adab, budi pekerti, dan seterusnya.
Tapi, hari ini peradaban di muka bumi ini seperti mengalami kerapuhan, menguatnya keterbelahan dibanyak sisi, dari hulu ke hilir (terlebih) ketika ras, suku dan agama yang hanya menggunakan kesadaran logika (ratio) dijadikan kendaraan politik untuk meraih kekuasaan. Mestinya memandang manusia dengan kaca mata kemanusiaan bukan kesukuan atau keturunan.
Bahkan, agama sendiri sering dijadikan zona nyaman untuk mengatakan kebenaran tunggal seraya berteriak sekeras-mungkin atas nama memperjuangkan nasib manusia tapi sejatinya menjauh dari substansi kemanusiaan. Selemah-lemahnya iman adalah manusia yang tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki kerusakan yang mereka pergunjingkan, bahkan membiarkan kerusakan demi kerusakan sambil memproduksi kebencian. Dengan kata lain, tidak ada gunanya menimbun eksistensi tanpa kebaikan pada alam semesta dan sesama manusia.
Yang pasti pelajaran untuk kita semua adalah kekuasaan tidak pernah meninggalkan welas asih dan perdamaian di muka bumi ini. Mungkin bagi sebagian orang justru merasa tenang karena mencapai nikmat dunia.
Seorang pelaku suluk yang sepanjang usianya memperjuangkan manusia untuk dimanusiakan dengan menitipkan pada semesta alam raya dalam salah satu frasa-nya melewati banyak penderitaan – menderita karena mengetahui hawa nafsu manusia (penguasa “tuan tanah”/raja yang serakah) menyamai binatang. Ia menderita antara marah dan sedih, dan (konon) memilih melakoni kehidupan serupa bayi yang baru lahir ke bumi dan menyerahkan diri pada semesta raya.
Pada intinya memanusiakan manusia adalah jalan sunyi yang tidak perlu berisik, diam, kembali pada hakikat manusia yang paling mulia. Apakah dengan bersuara nyaring suka menyebar kebencian, budaya saling membenci, saling mencaci atau budaya merasa paling benar sendiri, budaya memproduksi dan berjibaku dengan berita bohong, kesibukan memelihara pikiran negatif di atas muka bumi ini dan seterusnya dapat disebut memuliakan manusia? Adalah tanda-tanda manusia yang semakin menjauh, bahkan mulai melupakan pada esensinya manusia sebagai manusia – bersedia menimbun kebencian maupun menyakiti sesama manusia, tapi menolak merasakannya sendiri.
Maka, tidak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali hanya berlaku jujur, terus-menerus memproduksi kebaikan, serta merta untuk kebaikan, pengetahuan dan hanya untuk memanusiakan manusia. Karena itu, tidak ada gunanya menjadi manusia yang merasa paling benar sendiri, paling pintar, paling kaya, paling jujur, paling dikdaya, paling baik dan seterusnya.