Di timur kota Jogjakarta yang hingar bingar, ada pesantren yang tidak biasa. Pesantren Kaliopak, namanya. Menjadi tidak biasa karena pesantren tersebut mengidentivikasi dirinya sebagai pesantren kebudayaan.
Seperti yang tertulis dalam profilnya di jejaring sosial Facebook, pesantren tersebut berusaha memadukan kreativitas kesenian, ekonomi kerakyatan, dan religiusitas dalam kerja pendidikan dan kemasyarakatan. Di sana, Islam ditampilkan dengan gembira lewat macam-macam pagelaran seni. “Seni membuat sentuhan surgawi dalam kehidupan kita, agar lebih menyala-nyala dalam rahmat-Nya,” kata Faisal Kamandobat, salah seorang guru di pesantren tersebut.
Faisal yang terkenal sebagai penyair itu mengaku baru terlibat dengan Pesantren Kaliopak tiga tahun terakhir, tapi dengan pimpinan pesantren, M. Jadul Maula, sudah kenal lama. Kepada Hamzah Sahal dari NU Online, Faisal bercerita banya ihwal Kaliopak, lewat telepon, seusai pertunjukan Wayang Suket yang didalangi Slamet Gundono, di pesantren itu, Kamis (8/11) malam.
Kenapa Pesantren Kaliopak rutin adakan pertunjukan seni?
karena kesenian memberi kebahagiaan bagi masyarakat yang sedang ditimpa berbagai persoalan, seperti kemiskinan dan kesehatan. Kesenian juga memperdalam makna dalam menghayati kehidupan di tengah arus pendangkalan kehidupan karena inflasi informasi dan ekonomisasi di segala aspek kehidupan.
Dan terakhir, kesenian memberi kerangka imajinatif untuk merevaluasi dan merevitalisasi nilai ketika sejarah terasa membeku, sehingga menemukan vitalitas dan relevansinya kembali.
Itulah kenapa pesantren Kaliopak menggelar kegiatan-kegiatan kesenian. Lebih dari itu dulu para sunan juga menyebarkan rahmat Tuhan melalui kesenian, suatu hal yang perlu dilakukan lagi untuk menyegarkan dan memberi sentuhan estetis terhadap pendekatan syari’ah yang dominan di pesantren-pesantren.
Kesenian macam apa yang ideal untuk pesantren?
Kami menyelenggarakan acara-acara kesenian, mulai sastra, seni rupa, sampai pertunjukan, baik tradisional ataupun moderen. Belakangan seni tradisional seperti tarian Emprak dan wayang lebih sering dilakukan. Alasannya, seni tersebut lahir dari rahim sejarah sosial dan budaya kita, dengan makna dan medianya yang indah dan dalam.
Seni tradisional perlu dilestarikan secara kreatif dan luwes, agar tetap hidup dan relevan, untuk menjaga visi sejarah dan jati diri kita, sebagai cawan yang menampung segela kegelisahan dan gagasan dalam realitas yang kita diami.
Tidak ada kesenian tertentu yang menjadi “target”?
Pesantren Kaliopak tidak terlalu memikirkan aspek medium kesenian, tapi lebih pada isinya. Film, wayang, musik, lukisan, sastra, masuk semua. Yang penting kandungannya dapat merefleksikan realitas kemanusiaan secara jujur, kreatif, dan relatif mewakili kehidupan sosial kita.
Kenapa hari ini, secara umum, pesantren tampak over selektif terhadap kesenian dan komunitas-komunitas seni?
Harusnya pertanyaan itu disampaikan kepada para kiai dan gus daripada ke kami. Tapi seperti yang saya katakan tadi, karena ajaran pesantren, baik syariah ataupun tarekat, cendereung disampaikan secara formalistik, sehingga semakin kaku dan kurang menyenangkan. Padahal para ulama dahulu bisa diterima dengan cepat karena menyampaikan gagasannya dengan indah melalui syair.
Mari kita pancarkan cahaya rahmat Islam dengan cara yang indah dan imajinatif, agar melunakkan hati yang keras dan menghangatkan hati yang dingin. Seni adalah jalan terbaik untuk itu. Bukankah Al-Qur’an bukan kita hukum saja, tapi juga kitab sastra yang maha indah?
Jadi mari berkesenian. Karena seni membuat sentuhan surgawi dalam kehidupan kita, agar lebih menyala-nyala dalam rahmat-Nya.
Ada pendapat seni tertentu, alat musik tertentu harus dihindari karena bisa melalaikan Allah, bahkan ada ulama yang melarang baca seni Al-Qur’an. Apa pendapat Anda?
Karya seni tidak mengenal dosa, karena tidak bisa dihukumi. Yang terkena hukum itu manusianya. Betul kan?
Kalau musik, sastra, lukisan, drama, memang digunakan untuk lari dari Tuhan, maka akan sesat dengan sendirinya. Tapi kalau digunakan sebagai jalan menuju Tuhan, insya Allah akan sampai. Jadi tergantung kitalah, para senimannya, untuk apa kesenian itu.
Lihat saja, makna dan tujuan di balik karya seni, jangan hanya bendanya. Jangankan kesenian, negara dan agama saja, kalau digunakan untuk tujuan kekuasaan pribadi, akan membuat kita jauh dari Tuhan. Tapi, tembang suluk atau pop, jika ditujukan kepada Tuhan, akan terasa lebih spiritual dan relejius.
Apa yang Anda pikirkan tentang seni yang hari ini tumbuh di pesantren dan komunitas Islam, seperti sholawatan, hadroh, genjring, marawis, kaligrafi?
Kesenian yang telah hidup di pesantren dan masyakarat Islam secara luas tentu harus dijaga keberlangsungannya. Sambil dikembangkan secara kreatif agar tetap relevan dan semakin diterima oleh banyak penikmat, oleh masyakarat luas.
Bagaimana pula dengan arsitektur (yang ada di) pesantren, juga masjid dan langgar? Tampaknya seni bangunan banyak diabaikan di pesantren. Sekedar berkiblat pada fungsi dan tren saja.
Dunia arsitektur kita secara umum sedang ikut arus tren global, terutama gaya dan materinya. Tapi di level konseptual dan paradigma, ita belum mewarnai secara signifikan. Masih jauh bagi kita arsitektur berkelas seperti Nouval, Hadid, Koolhaas, atau Ando. Tapi mau bermain dengan mengeksplorasi gaya lokal juga belum ketemu yang bener-benar kuat, padahal itu sumber inspirasi yang luar biasa kaya. Nah, itu secara umum.
Pesantren arsitekturnya biasa, rada latah, atau malah kelewat sederhana. Wajar saja karena memang tidak diajarkan soal arsitektur. Lha yang diajar jadi arsitek saja kurang punya visi dan selara. Ini kita sedih.
Bagaimana dengan arsitektur pesantren Anda? Saya lihat ada pendopo Jawa, tapi bangunan lain bergaya poskolonial.
Perencanaan makro pesantren Kaliopak lebih untuk pengajian, pelatihan dan berkesenian. Jadi kami membuat banyak ruang yang luas dan terbuka. Gaya tradisional membuat pesantren terasa lebih homy bagi masyarakat Jogja, tapi kurang begitu kuat. Sedangkan yang moderen kurang homy, tapi lebih kuat karena materialnya. Tapi sejujurnya kami tidak punya desain secara keseluruhan. Semua berjalan begitu saja, sesuai usaha dan kata hati kami, di bawah ridlo Allah. Amin.
Pesantren Kaliopak mulai dibangung dan dirinti pada tahun 2004. Kegiatan pesantren terhenti karena lindu yang mengguncang Jogjakarta dan sekitarnya, pada bulan Mei 2006. Tapi karena lindu itulah pesantren jadi ramai. Warga sekitar rubungan di pesantren, ngobrol, solawatan, sembayang, dan lainnya. Pada waktu itu belum dialiri listrik.
Letak pesantren di Jalan Wonosari Km 11 Dusun Klenggotan, Bantul. Dari pusat kota Jogja, hanya 30 menit naik kendaraan bermotor. Untuk sampai ke sana, rutenya tidak rumit, telusiri saja Jalan Wonosari, setelah sampai jembatan Kaliopak, ada pasar, ke timur sedikit, ada Gang Masjid al-Muttaqin, lalu masuk sekitar 100 meter, ada pos ronda masuk terus sampai pinggir sungai. Di situlah pesantren berada, nama pesantren sama dengan nama sungai yang ada persis di pinggirnya, Pesantren Kaliopak.
Di sana, pesantren lebih banyak digunakan untuk pelatihan dan pertunjukan seni serta diskusi untuk umum. Ada pelatihan menulis hingga pelatihan film. Diskusi tasawuf hingga tarian. Pameran lukisan hingga pidato kebudayaan. Tidak banyak santri yang menetap di sana. Santrinya silih berganti dalam waktu yang cepat, datang dari mana-mana. Tapi tak lama mereka akan datang lagi, karena kesengsem. Tapi tak lupa juga, selayaknya pesantren, ada pengajian Al-Qur’an untuk anak-anak dan pengajian kitab-kitab, tapi memang tidak banyak.
Pesantren Kaliopak ikut mewarnai pesantren yang sudah ada terlebih dahulu seperti Pesantren Krapyak di Bantul, Pesantren Sunan Pandan Aran di Sleman, dan lain-lain. Pesantren tersebut juga menjadi tempat sekolah yang kreatif di tengah Jogjakarta sebagai Kota Pelajar.
Pesantren Anda persis di sisi selatan sungai Kaliopak. Itu pilihan atau kebetulan saja?
Kebetulan saja. Tapi kami percaya itu Tuhan yang mengatur, karena terasa begitu nyaman dan hidup, meski di ujung senyap Jogjakarta.
Kenapa pesantren Anda tidak bernama Al-Ikhlas, Al-Huda, atau At-Taqwa, melainkan Kaliopak?
Untuk mengikat nama pesantren dan ruang sosial, kultural, historis, dan geografis dari masyarakat dimana ini berada. Dulu nama pesantren banyak yang menggunakan nama tempat, seperti Tebuireng, Krapyak, Lirboyo, Babakan, Cipasung. Itu membuat pesantren lebih memiliki otoritas di tanah yang ditempati pesantren. Sangat penting ditinjau dari segi strategi kebudayaan, terutama dalam kaitannya dengan soal kedaulatan.
Siapa atau golongan mana saja penerima manfaat atau santri Kaliopak?
Pesantren Kaliopak melibatkan masyarakat dusun Klenggotan dalam kegiatan-kegiatannya. Para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi juga sering ikut bantu-bantu kegiatan kami. Ada dari mereka yang melakukan residensi, untuk disksusi atau penelitian. Dari UIN SUKA, UGM, UI, ISI, santri-santri dari pelbagai pesantren, dan banyak lagi. Akademisi, seniman, petani, pedagang, ulama, juga dukun, biasa menikmati kegiatan pesantren Kaliopak. Juga kalangan lintas agama, etnis, kelas sosial, dan berbagai usia bisa datang dengan senang dan menikmati kegiatan-kegiatan di sini. Kami berusaha semampunya untuk melakukan rahmatan lil ‘alamin.
Kembali ke dunia seni, Mas. Tampaknya Wayang Suket dan Ki Slamet Gundono sering tampil di Kaliopak, baik diskusi ataupun wayangan. Ada alasan khusus?
Slamet Gundono itu orangnya asyik, kreatif, santri, dan harganya bisa dinego. Kalau bisa malah gratis. Demi visi yang sama, kami patung tempat, dia dan kawan-kawan nyumbang karya…hahaha… Gundono itu seorang seniman dan dalang yang eksperimental, kreatif, tapi tetap komunikatif. Dia seorang santri dengan cinta kemanusiaan yang besar di dadanya. (nu.or.id, 10 November 201)