Tiga Serangkai Pendiri Lesbumi
- Djamaludin Malik
Djamaluddin Malik,[1] lahir di kota Padang dari keturunan Sultan Paharuyung (ayahnya) pada tanggal 13 Pebruari 1917. Sejak kecil sampai dengan wafatnya beliau menetap di Jakarta. Namun demikian dalam perjuangan fisik, almarhum turut berjuang di daerah Periangan Bandung, Yogyakarta dan Balikpapan Kaltim. Ketika masih hidup, almarhum merupakan pendiri dan Presiden Direktur PT. Persari Perseroan Artis Indonesia yang boleh dikatakan sama dengan Union Artis di Amerika Serikat.[2] Disamping sebagai pengusaha film, Djamaludin bergerak dalam dunia perdagangan karena terkenal keliahainya dalam berdagang seperti : Presiden Direktur Biro Teknik “Prapatak” yang bergerak dalam bidang instalasi listrik, radio, menjual kulkas, mesin-mesin ketik/hitung, serta Presiden Direktur PT. Cimalaka suatu pabrik tenun di daerah Sumedang.[3]
Djamaludin nampaknya mewarisi jiwa dagang yang ulet, gigih, dan tidak dikenal putus asa. Ketika masih kanak-kanak, Djamaludin bersama saudaranya, Djamaris Malik, tinggal di Medan. Dari situ Djamaludin bangga dengan kelahiranya yang berasal dari Medan sesuai yang dituturkan Kiai Wahid Hasyim yakni anak Medan terkenal dengan dinamis, bual Deli, ramah tamah, dan pandai bergaul. Tanda-tanda ke-Medan-nan inilah yang nampaknya sangat mengesankan Lombard sehingga ia menjuluki Djamaludin sebagai seorang tokoh yang banyak sekali ulah dan gayanya. Kiai Wahid Hasyim[4] memberikan kesan bahwa Djamaudin adalah seorang yang periang dan selalu tersenyum, Djamaludin juga pandai bergaul, peramah, dan sopan dalam ucapanya. Kesan yang sama juga diutarakan Saefudin Zuhri[5] dalam pencitraanya tentang pendiri sentral Lesbumi ini yakni Djamaludin ketika pada suatu kesempatan ia diperkenalkan oleh Kiai Wahid Hasyim.[6]
Selain terjun ke dunia perdagangan Djamaludin terjun ke dunia sosial, agama,dan politik. Persinggungannya dengan partai NU terlihat dari awal kedekatanya dengan Kiai Wahid Hasyim, Kiai Wahab Hasbullah, Saifudin Zuhri, dan Idham Chalid. Kiai Wahid Hasyim mengatakan bahwa Djamaludin adalah “seorang yang ada pengaruhnya dalam penggerak dan anggota teras NU. Kehadiran Djamaludin dilingkungan NU sangat dirasakan oleh keluarga Nahdliyin, sebagai partai muda NU membutuhkan tenaga-tenga muda dan terampil.
Pada saat ia bersama-sama dengan Usmar Ismail dan Asru Sani memprakarsai dibentuknya lembaga kebudayaan yang diberi nama Lesbumi. Djamaludin pun menjadi ketua umum Lesbumi pada periode di mana tahap-tahap perintisan sedang dimulai, dengan demikina ia menjadi perantara seniman-budayawan bebas dengan kalangan Nahdliyin.[7]Djamaludin juga menduduki ketua III di PBNU pada muktamar ke-21 di Medan 1956, dan terpilih lagi pada Muktamar ke 24 di Bandung pada tahun, 1967.[8]
Di sekitar tahun 70-an, Djamaludin mendapat sakit yang cukup parah, sehingga memerlukan perawatan dokter. Selanjutnya dirawat di Rumah Sakit Fatmawati, kemudian atas pertimbangan serta nasihat dari para dokter yang merawat, Djamaludin diharuskan berobat di Munchen (Munich – Jerman Barat). Dalam istilah kedokteran, Djamaludin menderita sakit yang macam-macam (konflikasi) sehingga sukar untuk diobati dengan secepat mungkin.
Akhirnya pada tanggal 8 Juni 1970, H. Djamaluddin Malik menghembuskan napasnya yang terakhir. Turut mendampingi almarhum sewaktu menghembuskan napasnya: Zainal Malik (sekarang di Amerika Serikat), Camelia Malik, Yudha Asmara Malik, Lailasari Malik. Jenazah almarhum diterbangkan dari kota Munchen ke Jakarta, dan disemayamkan di Pekuburan Karet Jakarta sesuai dengan permintaan beliau menjelang wafatnya.[9]
Setelah wafatnya, almarhum H. Djamaluddin Malik, diangkat sebagai Tokoh Perfilman Nasional bersama-sama dengan H. Usmar Ismail. Di samping itu pula, atas Keputusan Presiden Republik Indonesia pada tahun 1973, di Istana Negara telah dikukuhkan/ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional R.I. dengan mendapat Bintang Mahaputra Kelas II / Adipradhana, yang diterima oleh istri almarhum, Ny. Elly Yunara Djamaluddin Malik.
Dengan adanya pengukuhan dari Presiden Republik Indonesia tersebut, maka tidaklah salah apabila dalam Festival Film Indonesia, nama almarhum dicantumkan sebagai salah satu kehormatan untuk Piala Citra. Begitu pula dalam The Best Actor & Actrees, nama beliaupun mendapat kehormatan (berupa piala).
Selanjutnya sebagai penerus cita-cita almarhum, Ny, Elly Yunara Djamaluddin Malik, meneruskan cita-cita tersebut sesuai dengan batas kemampuan yang ada pada dirinya, PT. Remaja Ellynda Film yang berkantor di Jalan Cianjur No. 18 Jakarta adalah salah satu usaha Ny. Elly Yunara Djamaluddin Malik. Dua prosuksi film yang telah ditelorkan/dihasilkan adalah Malin Kundang dan Jembatan Merah.
- Usmar Ismail
Usmar Ismail lahir di Bukittinggi pada 20 Maret 1921 dari pasangan Datuk Tumenggung Ismail, guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan Siti Fatimah. Karena dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beribadah, Usmar sudah pandai mengaji pada usia tujuh tahun. Pendidikanya dimulai dari HIS kemudian dilanjutkan ke MULO di Simpang Haru, Padang Panjang. Setelah tamat dari MULO, pemilik nama lengkap Usmar Ismail Sutan Mangkuto Ameh ini merantau ke Jawa, dan kemudian Usmar melanjutkan ke AMS Negeri A-II di yogyakarta (Algemene Middlebare School) II jurusan Klasik Timur.[10]
Usmar kemudian meniti karir sebagai pemain sandiwara dan pengarang di Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jakarta, yang diawasi oleh Jepang antara tahun 1942-1945, bersama Kakak kandungnya Abu Hanifah, Rosihan Anwar, Sastrawan Armijn Pane, dan para budayawan lainnya.[11] Usmar menempatkan teater dalam fungsinya sebagai sarana ekspresi pemikiran dan kesenian, bukan alat hiburan atau propaganda. Usmar dapat dikatakan sebagai perintis teater Indonesia moderen dengan emnggunakan naskah sastra drama dan tehnik teater Barat.
Bakat seni dan budaya, khususnya film Usmar Ismail memang telah terlihat sejak usianya masih belia. Awalnya ia gemar menulis sajak dan cerpen. Kemudian berlanjut dengan menulis naskah drama dan skenario film. Drama yang ditulis Usmar Ismail adalah Puntung Berasap (Balai Pustaka 1950), Mutiara dari Nusa Laut (Pusat Kebudajaan 1943), Mekar Melati (1945), Tjitra (Gapura, 1943). Cerpen-cerpen Usmar meski hanya beberapa buah, dimuat dalam pencaran Jiwa dan Gema Tanah Air susunan HB Jassin.[12]
Sesudah proklamasi kemerdekaan, ia memasuki dinas militer Usmar menjadi Mayor TNI di Yogyakarta yang pada saat itu ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta. Usmar juga melanjutkan kiprahnya sebagai wartawan dengan mendirikan sekaligus memimpin harian Patriot dan majalah kebudayaan Arena di Yogyakarta. Di sela-sela menjalankan tugas kemiliteran dan profesinya sebagai jurnalis, Usmar masih sempat berkecimpung dalam berbagai organisasi di antaranya ditunjuk sebagai Ketua PWI Persatuan wartawan Indonesia pada tahun 1946-1947 melalui kongres PWI di Malang. Saat menjalankan tugas sebagai wartawan, Usmar pernah dijebloskan ke dalam penjara oleh Belanda dengan tuduhan melakukan subversi. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1948 saat ia bekerja sebagai wartawan politik di kantor berita ANTARA.
Setahun kemudian setelah keluar dari penjara Cipinang, barulah Usmar mulai merintis karirnya di dunia perfilman. Karena debutnya dirasa cukup memuaskan. Dan didorong semangat kebangsaan, Usmar menggandeng teman-teman sesama seniman untuk mendirikan Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia) tahun 1950.[13] Pendirian perusahaan tersebut bertujuan membuat Sutradara film Indonesia yang bermutu.
Meskipun di masa itu, fasilitas dan sarana untuk membuat film masih sangat terbatas, namun tidak menghalangi niat untuk menghasilkan film yang tak kalah berkualitas dengan buatan bangsa asing. Pada 30 Maret 1950, Usmar dkk memproduksi film pertamanya yang berjudul Darah dan Doa. Dalam sejarah Sutradara film Indonesia, film tersebut tercatat sebagai Sutradara film Indonesia pertama yang keseluruhan penggarapan dan modalnya murni dari orang-orang pribumi dan diputar di istana kenegaran.
Film yang skenarionya ditulis Usmar,berlatar long march Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat pada 1948, bercerita tentang kisah sedih Sudarto, seorang guru yang ikut revolusi fisik dengan menjadi kapten Angkatan Darat. Dibumbui dengan kisah romantis, Sudarto merasakan perjuangan batin di dalam peristiwa Madiun karena harus menumpas teman-temannya yang terlibat pemberontakan PKI. Setelah sempat ditangkap dan dianiaya Belanda, ketika akan menyambut kedatangan Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945- 1966) Bung Karno di Jakarta, Sudarto mati ditembak oleh temannya yang membalas dendam atas peristiwa Madiun. “Saya tertarik kepada kisah Sudarto karena menceritakan secara jujur kisah manusia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah,” ujar Usmar Ismail.[14]
Tokoh angkatan 45 Asrul Sani memberikan penilaian kepada Umar bahwa dia adalah seorang “nasionalis religius” pandangan yang sama juga diungkapkan Michael Kaden dengan mengatakan bahwa karya-karya Usmar tidak lepas dari tiga pesan penting: nasionalisme, humanisme, dan keyakinan kepada tuhan. Usmar berpandangan bahwa seniman sebagai manusia, pertama-tama adalah individualis dalam manifestasinya yang paling murni, karena ia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk bertanggung jawab secara personal atas segala perbuatanya.[15] Sehubungan dengan pandangan Usmar yang jiwa “nasionalis-religius” ditunjukan pada saat peristiwa AMPAI pada agustus 1946. Lesbumi menunjukan sikap berbeda dari Lekra yang- tanpa bermusyawarah lebih dahulu memilih aksi boikot terhadap AMPAI.[16] Kehadiran Lesbumi, dengan demikian melanjutkan usaha Usmar untuk membatasi kuota-kuota film dari Amerika. Sikap Usmar memilih “nasionalis-religius” dalam mempresentasikan sikap moderat Lesbumi, tidak ke kanan, tidak ke kiri.
Pada tanggal 17 Agustus 1962 Usmar menerima Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia “Widjaja Kusuma”. Dan bergabung dengan Lesbumi Nahdlatul Ulama.[17] Dalam kepengurusan Lesbumi ini Usmar menduduki pucuk pimpinan yang menjabat Wakil Ketua I. Dan mengantarkan nama besarnya telah berkibar di jagad perfilman nasional. Pertemuannya dengan Lesbumi mengantarkan Usmar pada pengangkatannya sebagai anggota DPR-GR/MPRS pada tahun 1966-1969 melauli partai NU.[18]
Pada 2 Januari 1971 Pukul 05.20 WIB terdengar kabar Usmar wafat. Beberapa bulan setelah kepergian Djamaludin Malik ia meninggal karena pendarahan Otak. Atas permintaan keluarga, H. Usmar Ismail dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat. Idham Chalid dalam sambutanya mengatakan bahwa “Usmar, sebagai seniman dan budayawan Muslim, adalah juru dakwah Islam. Dan meninggalnya Usmar adalah kehilangan besar bagi NU. Presiden Kedua Soeharto, yang menyebut Usmar sebagai “Sutradara Indonesia yang sesungguhnya”. Industri perfilman Tanah Air bisa seperti sekarang tak terlepas dari jasa-jasanya. Perjuangannya menancapkan fondasi dunia perfilman nasional seakan tak mengenal lelah. Karena kontribusinya yang begitu besar, Usmar Ismail dianggap sebagai Bapak Perfilman Nasional.
Usmar juga merupakan sosok penting di balik ditetapkannya 30 Maret sebagai Hari Film Nasional. Upaya untuk mengajukan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional terus dilakukan dan baru membuahkan hasil pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Melalui Keputusan Presiden No. 25, tanggal 29 Maret 1999, tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.[19]
[1] Ayah dari Camelia Malik yakni artis Indonesia yang piawai dalam dunia musik dan film pada tahun 1980an.
[2] Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, (Surabaya : Bisma Satu Surabaya, 1999), hlm. 246 “Sebagai Ilustrasi Djamaludin Malik pemilik studio Fil Persari, pada tahun 1952 ia aktif di partai NU semenjak pulang ibadah haji. Dan penampilan Djamaludin Malik didalam NU benar-benar berbobot. Baik dalam hal politik maupun penggalangan massa Djamaludin cukup bisa diandalkan.
[3] Djamaludin Malik merupakan pimpinan Persari Fil tersbesar di Indonesia dan ketua Lesbumi lembaga ini terdiri dari pelukis, bintang film, pemaun pentas, dan agama sastrawan. Dalam hal akhir ini. Sikap dan sifat tradisional NU dalam agama rupanya tidak mengekangnya untuk mengembangkan berbagai cabang kesenian. Diantara para peminat di Indonesia, orang-orang NU termasuk banyak memperhatikan seni film umpamanya, sehingga pada tahun 1950-an perusahaan film terbesar si Indonesia Persari Film, dipimpin oleh seorang yang menjadi anggota pengurus besar partai—Djamaludin Malik, lihat Deliar Noer Partai Islam….hlm 99.
[4] Gamal Komandoko, Atlas Pahlawan Indonesia 160 Pahlawan dan Pejuang Nusantara+terkini, (Jakarta: PT buku Kita, 2011), hlm. 22 menempatkan Kiai Wahid Hasyim kedalam pahlawan, Negarawan dan tokoh Islam yang fenomenal.
[5] Yayasan Saifudin Zuhri, Guruku Orang-orang Dari Pesantren, (Yoyakarta : Pustaka Sastra LKIS, 2001), hlm 74.
[6] “Aku jumpai K.H.A Wahid Hasyim sedang bercakap-cakap dengan seorang pemuda, memakai kemeja putih dengan celana berwarna gading. Rambutnya disisir rapi ke arah kanan dengan garis pemisah sebelah kiri. Sepatunya putih dengan polet-polet coklat muda. Kenalkan dulu, ini saudara Djamaludin Malik, K.H.A Wahid Hasyim memperkenalkan pemuda ini dengan kami. Ia juga anggota Ansor Cabang Gambir Jakarta. Kami segera berkenalan. Formulirnya baru berkenalan sekarang, tapi hati kita sudah lama satu, bukan ? Djamaludin Malik menatap aku dengan senyumnya”. Choirotun Chisan…hlm 163-164.
[7] Ibid. 165.
[8] Ibid. 167.
[9] Di akses pada hari kamis 15 Mei 2013 pada pukul 15.45 dengan alamat : http://kepustakaan-tokoh.perfilman.pnri.go.id/djamaluddin/biography/deskripsi_biografi.asp
[10] H.B Jassin, Kesusateraan Indonesia Modern Dlam Kritik Dan Essay, (Djakarta : Gunung Agung, 1954), hlm 132.
[11] Yang terdiri dari komponis, wartwan, kritikus sastra, penyanyi dan musikus yang kemudian mendirikan kelompok dengan nanma “sandiwara pendengar” (1943-1946). Choirotun Chisan…hlm. 172.
[12] Lihat Ajib Rosidi…hlm 193 bahwa H.B Jassin adalah satra Indonesia umurnya yang relatif masih muda yang pada tahun-tahun menjelang Jepang datang bekerja sebagai sekretaris majalah Poedjangga Baroe. Zaman Jepang ia bekerja di balai Pustaka sampai sekitar tahun lima puluh. Selain itu Jassin yang besar ialah ketekunananya dalam membina sebuah Dokumentasi kesusastran. Karya- karya Jassin Kesussastraan Jepang (1948), Gema Tanah Air Prosa dan Puisi (1942-1948), Pujangga Baru. Prosa dan Puisi (1963), angkatan 66 (1968.)
[13] Misbach Yusa Biran mengatakan bahwa Perfini adalah perusahaan film yang mula-mula didirikan orang pribumi stelah kemerdekaan Inodnesia. Perusahaan ini didirikan pada tanggal 30 Maret 1950. Atas dasar ini Lombard mengatakan bahwa “perfileman indonesia asli”baru benar-benar mulai pada tahun 1950. Meski Lombard mengatakan seni film adalah seni impor murni.
[14] Semula Darah dan Doa akan menggunakan judul Long March, dan direncanakan akan dikirim ke Festival Film Internasional di Cannes, Prancis. Sayang hanya sebatas rencana, sebab penggarapannya hampir terhambat akibat menyusutnya nilai uang setelah pemerintah waktu itu melakukan pemotongan nilai uang. Modal Rp 30.000 untuk shooting film tersebut tidak mencukupi karena nilainya turun drastis jadi separuhnya. Agar tidak rugi total, Perfini mengadakan kerja sama dengan Spektra Exchange, sehingga film Darah dan Doa bisa diselesaikan seluruhnya. Sang sutradara, Usmar Ismail, juga sempat menghadapi kenyataan pahit ketika film Darah dan Doa dilarang beredar di beberapa daerah, termasuk di Jakarta.
[15] Diakses pada hari Minggu 19 Mei 2013 pada situs http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3759-bapak-perfilman-indonesia.
[16] Amapai adalah singkatan dari American Motion Picture Association of Indonesia. Amapai adalah asosiasi importir film yang anggotanya terdiri dari mula-mula 11 perusahaan film Amerika yang mengedarkan filmnya di Indonesia melalui kartornya masing-masing.
[17] Ada sebuah artikel yang menyatkan “Karena pada saat itu ada suatu pernyataan tidak berpolitik dianggap suatu dosa sejarah. Untuk menghindari “dosa” itu, Usmar bergabung dengan partai NU.”
[18] Abdul Rouf, NU dan Civil Islam di Indoneisa, (Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara, 2010), hlm 134.
[19] Sebelumnya telah terjadi perbedaan pendapat sebab peristiwa bersejarah 30 Maret hanya diakui oleh kalangan orang film swasta, sedangkan kalangan pemerintah masih memilih 6 Oktober sebagaimana usulan tokoh perfilman lainnya yakni R.M. Soetarto. Alasannya, pada 6 Oktober 1945 ada peristiwa yang dianggap lebih penting, yakni bertepatan dengan Jepang yang menyerahkan studio Nippon Eiga Sha kepada Pemerintah RI yang diwakili oleh R.M. Soetarto. Studio itu kemudian berganti nama menjadi PPFN (Pusat Produksi Film Negara).
Tulisan ini diambil dari sini