Studi Alquran di Era Disrupsi Tantangan dan Peluang* | Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag**

Studi al-Qur’an selalu mengalami dinamika seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. Dewasa ini kita dihadapkan dengan kondisi yang benar-benar sangat mengguncang dunia pasar studi Qur’an. Itulah yang sering disebut dengan istilah era disrupsi. Berbagai inovasi baru dan kreativitas muncul dalam mengkaji al-Qur’an, hingga mempengaruhi, bahkan mengubah struktur pasar studi al-Qur’an yang sebelumnya. Sebagai contoh sederhana, dulu pada era tahun (1970-1980-an), ketika anak-anak ingin belajar membaca al-Qur’an, mereka harus datang ke rumah Kiai/Nyai atau Ustadz/dzah. Namun, sekarang mereka tidak lagi harus datang ke rumah  kiai, melainkan cukup ke TPA. Bahkan ada yang justru ustazd/dzahnya datang ke rumah muridnya. Itupun dilakukan kadang hanya melalui WA dengan kompensasi mukâfaah (imbalan) perdatang berapa rupiah, tergantung jauh-dekatnya jarak, layaknya kita pesan GO-JEK.

Di era disrupsi ini, proses pengajaran al-Qur’an juga mengalami perubahan. Jika dulu umumnya menggunakan metode Baghdadi dengan cara mengeja, alif fathah a, ba’ fathah ba, menjadi aba, misalnya, maka sekarang  muncul metode baru seperti metode Iqra, ’ Yanbua’,  Qira’ati, dan al-Barqi yang tidak lagi harus mengeja seperti dalam metode Baghdadi.  Tentu hal ini juga sedikit banyak mengguncang ‘pasar’ studi al-Qur’an, terkait dengan bagaimana cara belajar membaca al-Qur’an, proses transmisi pengetahuan dan nilai (value) dari guru ke murid/santri. Dulu seorang santri harus menunggu antrian panjang untuk bisa disimak sang kiai/guru. Nah, di situ jelas ada dimensi nilai kesabaran dan tekad yang kuat.  Sementara, sekarang anak-anak santri TPA yang mau mengaji dengan antrian panjang, boleh jadi sudah tidak bersabar lagi. Sebagian masyarakat juga ada yang merasa cukup belajar al-Qur’an, tanpa harus talaqqi  (face to face) dengan guru, melainkan dengan You Tube. Padahal Nabi Muhammad, para sahabat dan para ulama dulu  ketika belajar al-Qur’an  pasti melalui proses talaqqi dengan guru secara langsung.

Tantangan berikutnya,  dalam soal  memahami isi kandungan al-Qur’an (baca: tafsir). Di era disrupsi ini muncul gejala yang cukup mengkhawatirkan. Seseorang yang sebenarnya tidak memiliki kualifikasi keilmuan al-Qur’an yang memadai, –namun hanya karena sudah disebut ustadz atau uztadzah oleh media–, dia begitu berani menafsirkan ayat al-Qur’an, tanpa mau merujuk pandangan ulama tafsir. Ada ‘sang ustadz’ ketika menafsirkan Surat al-Duha:7, lalu menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad Saw juga pernah sesat (dhalal). Lalu dia katakan, bahwa  kalau begitu perayaan Maulid Nabi, berarti memperingati kesesatan Nabi Muhammad. Sebuah kesimpulan yang sangat naïf dan ‘menyesatkan’. Inilah barangkali model tafsir yang pernah diwarning Nabi Saw. Orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan semaunya sendiri, tanpa berdasar ilmu, ancamannya adalah neraka. Man qâla fil Qur’an bi ra’yihi fal yatabawwa’ maq’adahu min al-nâr (HR. al-Tirmidzi).

Di sisi lain, politisasi tafsir, seperti kasus penafsiran  kepemimpinan non muslim Q.S. al-Maidah [5]: 51 yang pernah heboh juga menjadi tantangan tersendiri bagi para pengkaji al-Qur’an. Bagaimana pula menjelaskan al-Qur’an di era post truth, dimana orang tidak lagi melihat argument, tapi lebih ke sentiment. Maka, para peneliti Qur’an dan Tafsir harus mampu mendedah pesan-pesan al-Qur’an secara fair dan  proporsional, dan kontekstual. Seorang mufassir bukan hanya berusaha memahami al-Qur’an, tetapi juga harus mampu merubah realitas menjadi lebih baik.

Bukankah kehadiran al-Qur’an dulu telah mampu manjadi basis teologis untuk merubah masyarakat menjadi lebih baik? Itulah barangkali yang dinginkan oleh Prof Dr. Hasan Hanafi, pemikir kritis Mesir dengan istilah min al-Aqîdah ila al-Tsaurah (dari teologis ke revolusi). Hemat penulis, misi transformasi al-Qur’an harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Kajian tafsir bukan hanya soal bagaimana memahami dan manafsirkan al-Qur’an, tetapi juga mampu merubah realitas menjadi lebih baik. Dalam istilah penulis,  al-Tafsir laysa faqad li fahmi ma’anil Qur’an wa innama  aidlan li al-taghyir ila ahsan al-waqâ’i. (Interpretation of the Qur’an is not only to understand the Qur’an but also to change and transform to better the reality).

Oleh sebab itu, pertemuan tahunan atau Annual Meeting AIAT (Asosiasi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir) se-Indonesia kali ini akan mengusung tema “Kajian al-Qur’an di Era  Disrupsi: Tantangan dan  Peluang”. Ada banyak agenda dalam Annual Meeting antara lain tentang keorganisasian dan program AIAT, Kurikulum dan Akreditasi Prodi IAT dan pengelolaan jurnal di lingkungan prodi IAT.  Semoga,  Annual Meeting AIAT yang akan digelar tanggal  Senin – Rabu 19-21 Agustus 2019 dapat menghasilkan ide-ide kreatif bagi pengembangan kajian al-Qur’an untuk menjawab problem, tantangan dan peluang kajian di era disrupsi. SEMOGA.

 

*) Menyambut Seminar Nasional & Annual Meeting AIAT Se-Indonesia, Senin – Rabu 19-21 Agustus 2019, The Cube Hotel, Mantrijeron, Yogyakarta.

**) Ketua Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir FUPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Pengurus AIAT (Asosiasi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir se Indonesia).

Label: