2022 07 30 | Bhinneka Tunggal Ika Membuka Peluang Pendidikan Inklusif

Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dengan tema Merajut Nilai-Nilai Kebhinekaan Melalui Pendidikan Inklusif di Universitas Alma Ata Yogyakarta.

Kegiatan tersebut juga menghadirkan Rektor Universitas Alma Ata Prof. dr. Hamam Hadi, MS., Sc.D., Sp.GK., serta dua dosen dari kampus tersebut, Dr. H. Akhsanul Fuadi, M.Pd. dan Dr. Muh. Mustakim, M.Pd.I.

Pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut menyatakan bahwa negara Indonesia telah mewajibkan seluruh anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan sesuai. Hal itu termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “setiap warga berhak mendapatkan pendidikan” dan “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

“Pendidikan telah menjadi pemikiran penting sejak pendirian bangsa ini. Dan itu jelas telah dituliskan dalam dasar hukum negara kita, UUD NRI 1945. Jadi tidak boleh ada satu pun warga negara yang tidak mendapatkan pendidikan, apa pun alasannya,” ujar pria yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah tersebut di Gedung KH. Abdullah Masduki, Universitas Alma Ata, pada Sabtu (30/07) siang.

Selain itu, Gus Hilmy juga menyatakan bahwa paradigma pendidikan di Indonesia telah berubah, yang tadinya melakukan pembedaan kemampuan kini berubah menjadi segregasi. Sekat-sekat pembedaan itu telah dihilangkan, semua siswa dengan kemampuan yang berbeda dapat berada dalam satu kelas.

“Berbeda dengan dulu, pendidikan kita masih menganut sistem segregasi, membedakan peserta didik yang memiliki kemampuan yang berbeda, antara yang difabel dan yang nondifabel. Paradigma pendidikan kita sekarang telah bergeser menjadi pendidikan inklusif, yang tak lagi memberikan batas-batas tersebut. Hal ini untuk mendorong kesempatan yang sama, tidak hanya dalam hal pendidikan, tetapi juga kesempatan berikutnya, yaitu dalam dunia kerja,” kata Katib Syuriah PBNU tersebut.

Keterbukaan pendidikan di Indonesia tersebut, menurut Gus Hilmy, juga perlu ditarik secara makro. Tidak hanya inklusif dari sisi kemampuan fisik, difabel dengan nondifabel, tetapi juga keterbukaan secara kesukuan. Satu instansi pendidikan tidak boleh hanya menerima peserta didik hanya dari satu suku.

Baca Juga: https://sukusastra.com/dari-redaksi/pendidikan-inklusif-syarat-negara-demokratis/ 

“Pendidikan inklusif, dapat pula kita tarik secara makro. Tidaknya keterbukaan terhadap penyandang disabilitas, melainkan kepada semua anak bangsa. Tidak hanya dari Jawa saja yang diterima, tidak hanya dari suku mana yang diterima, tetapi semua dapat diterima. Pun demikian dengan memilah-milah peserta didik berdasarkan kemampuan akademik saja. Yang diterima hanya yang rangking 1-10 dari masing-masing sekolah. Bukankah salah satu fungsi pendidikan adalah untuk mencerdaskan? Juga terkait dengan ideologi maupun agama. Misalnya, meskipun Universitas Alma Ata sebagai perguruan tinggi berbasis Islam, namun tidak menutup kemungkinan untuk menerima siswa yang berbeda agama,” ujar pria yang juga salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir tersebut.

Dengan keterbukaan itu, menurut Gus Hilmy, berarti sebuah institusi pendidikan telah mampu mengimplementasikan UUD NRI 1945 dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

“Kami berharap, perguruan tinggi-perguruan tinggi membuka peluang yang sama bagi mereka sebagai salah upaya untuk melaksanakan dasar konstitusi negara kita, yaitu UUD NRI 1945, sekaligus mewujudkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika,” kata pria yang juga anggota Komisi Fatwa MUI Pusat tersebut.

 

Label: