Chasan Tholabi

Kiai Chasan Tholabi dilahirkan pada tahun 1921, wafat tahun 1991. Kiai Chasan adalah putra dari KH. Amiruddin bin KH. Abdullah Rosyad, dan keponakan dari KH. Muhammad Munawwir, Krapyak. Dari sini, Kiai Chasan mempunyai darah ulama’ sekaligus darah perjuangan. Inilah yang termasuk membentuk sosok Kiai Chasan menjadi pribadi yang penuh energi dalam perjuangan.

Di masa belia, Chasan kecil belajar kepada ayahnya sendiri, Kiai Amiruddin. Setelah mulai beranjak muda, Chasan kemudian mengaji kepada Pak Dhe-nya, yakni Kiai Munawwir. Kepada Kiai Munawwir, Kiai Chasan mengaji Al-Qur’an sampai juz 25. Belum sempat Kiai Chasan mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an, Kiai Munawwir wafat tahun 1942. Kiai Munawwir sangat keras kalau yang mengaji itu kerabatnya sendiri. Kalau sedikit saja melakukan pelanggaran, maka akan segera dita’zir, dihukum. Ini dilakukan Kiai Munawwir dengan penuh kedisiplinan, berharap agar kerabatnya menjadi ulama yang kelak akan berjuang mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat.

Setelah mengaji kepada Kiai Munawwir, Kiai Chasan melanjutkan ngajinya di Pesantren Tremas, Pacitan. Disana beliau belajar fiqih, tafsir, dan ilmu lainnya. Pesantren Tremas dikenal sebagai pesantren yang melahirkan ulama’-ulama’ besar, termasuk Kiai Ali Maksum dan KH Hamid Pasuruan. Selepas dari Tremas, Kiai Chasan mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an di Demak, di Pon. Pes. Bustanu Usysyaqil Qur’an yang diasuh oleh KH. Muhammad, putra Kiai Mahfudz Tremas. Kiai Muhammad sendiri mengaji Al-Qur’an kepada Kiai Munawwir Krapyak. Kiai Muhammad diambil menantu oleh Kiai Soleh Darat Semarang.

Sepulang dari Demak, beliau menikah dengan Nyai Mursyidinah yang masih kerabatnya sendiri, yakni masih cucu dari Kiai Abdullah Rosyad. Selepas menikah, Kiai Chasan mulai mengarungi rumah tangga, dan tetap fokus berdakwah keliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Tercatat 6 kali Kiai Chasan ngontrak rumah di Jogja Kota dan Bantul, diantaranya di Krapyak Wetan, Krapyak Kulon, Sewon, Sentolo, Mergangsan Kidul, Mergangsan Lor. Baru yang ketujuh beliau fokus pindah ke Wates.

Sembari berdakwah,  Kiai Chasan mengaji kepada kepada Kiai Ali Maksum, Krapyak. Wilayah dakwahnya meliputi Yogyakarta dan sekitarnya. Selama berdakwah, Bu Nyai Mursyidinah pun turut menopang ekonomi keluarga. Bu Nyai berdagang minyak tanah, pakaian, dan lainnya, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kiai Chasan dikenal ulama’ yang terus menemani masyarakat dalam pengajian. Tidak mengenal lelah, selalu keliling untuk mendidik masyarakat. Ini juga selalu didorong Kiai Ali Maksum, sehingga Kiai Chasan sangat bersemangat untuk ngaji dengan masyarakat secara keliling.

Setelah mengelana di Jogja dan Bantul, Kiai Chasan memutuskan untuk pindah ke Wates, tahun 1970. Disana mendirikan mushala sebagai tempat dakwahnya. Awal mula dakwah Kiai Chasan khsusus mengajarkan Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan di Wates saat itu merupakan basis daerah abangan dan masih banyak masyarakat yang awam agama.

Tantangan dari masyarakat saat itu demikian hebat. Sering mushala Kiai Chasan dilempari batu, begitu juga ketika adzan dikumandangkan diteriaki anjing yang menggonggong. Gangguan fisik kadang juga muncul. Namun karena Kiai Chasan juga memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni, maka hambatan tersebut lambat laun bisa teratasi. Akhirnya, tahun 1979 Kiai Chasan mendirikan Pesantren Al-Qur’an Wates (Pesawat) di atas tanah seluas 280 m.

Spirit dakwah Kiai Chasan luar biasa. Warga Wates yang masih awam agama justru menjadi pelecut semangat Kiai Chasan untuk terus mengajarkan agama kepada masyarakat. Ciri khas ngaji Kiai Chasan adalah selalu memulai ngaji setiap santri dengan usholli dan kabira. Artinya, memulai ngaji dengan tata cara sholat dengan benar. Baru kemudian ngaji yang lainnya. Ini tentu saja harus benar cara membawa al-Qur’annya. Makna lain, Kiai Chasan Tholabi menggunakan cara sholat yang sudah disepakati para ulama pesantren, alias khas ala NU. Inilah ciri khas yang masih terus dilakukan di pesantrennya sampai sekarang.

Usia terus bertambah, perjuangan tak mengenal henti. Tetapi Allah selalu berkehendak, manusia harus patuh dengan kehendak-Nya. Pada tahun 1991, Kiai Chasan Tholabi wafat. Perjuangan Kiai Chasan dilanjutkan putranya, Kiai Ahmad Su’adi Chasan. Kiai Su’adi inilah yang melanjutkan Pesantren Pesawat sampai sekarang, semakin maju dan berkembang.

 

Sumber: bangkitmedia.com

Label: