Ali Maksum

KH Ali Maksum merupakan ulama, tokoh NU dan pesantren pada periode tahun 1940-1989. Beliau lahir pada tahun 1915 di Lasem, Jawa Tengah, dari pasangan ulama besar, KH Maksum Ahmad dan Nyai Hj Nuriyati.

Sejak kecil, Kiai Ali tumbuh dalam lingkungan tradisi pesantren dan ketokohan NU di Lasem. Pada masa dewasanya, Kiai Ali berguru pada ulama besar seperti KH Amir (Pekalongan) dan KH Dimyathi (Tremas). Di Tremas, Kiai Ali mempelopori sistem pendidikan pesantren modern yaitu sistem madrasah.

Setelah pernikahannya dengan Nyai Hj Hasyimah binti KHM Munawwir (Krapyak), ia pergi ke Mekkah pada tahun 1937 untuk menunaikan ibadah haji dan berguru dengan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani dan Syaikh Umar Hamdan.

Pada tahun 1941, Kiai Ali kembali ke Indonesia untuk mengembangkan ilmu agamanya dengan spesialisasi yaitu bidang tafsir. Ia juga turut membantu mengembangkan pesantren Soditan milik ayahnya di Lasem, sebelum akhirnya membaktikan hidupnya sampai wafatnya dalam mengembangkan Pesantren Krapyak pascawafatnya KHM Munawwir pada tahun 1942.

Semenjak bermukim di Yogyakarta, Kiai Ali membangun akar organisasi NU dari tingkat bawah dengan memberikan ruang kepada para pemuda untuk menjadi kader utama NU di wilayah Yogyakarta. Ia menggalang kekuatan NU dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, pengusaha, ulama, santri maupun tokoh pemuda.

Pada tahun 1955, Kiai Ali terpilih menjadi anggota konstituante melalui konferensi Alim Ulama NU di Watu Congol, Magelang pada tanggal 17-18 Agustus 1955 (Perslag Konperensi ‘Alim Ulama N.U. sel. Tjabang Wilajah Jawa Tengah pada tanggal 17-18 Agustsus 1955). Selain mengembangkan pendidikan pesantren yang modern di Krapyak sebagai tugas utamanya, Kiai Ali juga menjadi dosen di IAIN Sunan Kalijaga sejak tahun 1960-an serta menjadi anggota Tim Penterjemah Al-Qur’an sejak tahun 1962.

Dalam pengabdiannya di NU, peran Kiai Ali hadir di masa NU sedang mengalami masa sulit, khususnya semenjak NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952 dan restrukturisasi parpol pada masa awal orde baru tahun 1973. Pada situasi tersebut, Kiai Ali berperan penting dalam menjaga keharmonisan dan mengkonstruksi “jalan damai” untuk menjaga persatuan NU. Oleh karena peran tersebut, maka Kiai Ali kemudian dipilih menjadi Rais Syuriyah PWNU DIY sejak tahun 1975 sampai tahun 1981. Beban berat Kiai Ali semakin bertambah ketika dirinya dipilih menjadi Rais ‘Am PBNU pada Munas Alim-Ulama NU di Kaliurang pada tahun 1981. Jabatan tersebut dipikulnya untuk menggantikan kedudukan KH Bisri Syansuri yang telah wafat.

Dengan posisinya sebagai Rais ‘Am PBNU, Kiai Ali menyatakan janjinya dalam wawancara yang diliput oleh Julious Pour dari Kompas, yaitu:

“Kepercayaan seluruh alim-ulama tak boleh disia-siakan. Saya melaksanakan, sesuai kepercayaan dan tanggung jawab yang telah dibebankan kepada diri saya!” (Kompas, 2 September 1981)

Sebagai sesepuh NU, Kiai Ali bekerja keras sebagai ujung tombak dalam mempersatukan NU yang terpecah menjadi beberapa kubu yang disebabkan oleh dinamika politik nasional pada masa tersebut.

Kiai Ali dengan beberapa tokoh ulama sepuh NU lainnya, seperti KHR As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH Makrus Ali (Lirboyo) dan lain-lainnya berhasil mencetuskan serta mendukung arah pergerakan NU “Kembali pada Khittah 1926” sebagai usaha “penyelamatan” NU dari kepentingan politik praktis.

Munculnya kesepakatan menjalankan “Khittah NU 1926” pada Muktamar NU Ke-27 di Situbondo pada tahun 1984 dapat dikatakan sebagai puncak keberhasilan Kiai Ali dalam perjuangannya untuk NU.

Kiai Ali kemudian menjadi tokoh NU yang gigih mengawal jalannya Khittah NU 1926 sampai akhir hayatnya. Ia tidak pernah merasakan lelah dan sakit, walaupun keadaan fisiknya mulai melemah sejak tahun 1986 setelah tindak kekerasan yang dilakukan oleh Dirman pada tanggal 8 November 1986. Selama periode tahun 1987 sampai 1988, Kiai Ali dikabarkan sering keluar masuk rumah sakit dikarenakan sering jatuh sakit.

Janji Kiai Ali untuk kemajuan NU tetap ditepatinya sampai di masa hari-hari terakhir hayatnya. Dalam menepati janjinya, Kiai Ali menunjukkan perjuangan terakhir kalinya sebagai tuan rumah Muktamar NU Ke-28 di Krapyak. Dengan kursi roda dan selang oksigen, Kiai Ali secara langsung tetap turun tangan dalam mempersiapkan semua kebutuhan dan perlengkapan acara Muktamar NU Ke-28 di Krapyak.

Hal tersebut tersirat dalam ungkapan Kiai Ali terhadap KH Masykur (Malang) ketika menjenguknya di sela-sela pembukaan Muktamar NU Ke-28 di Krapyak, “Kulo sampun mboten saged mlampah Kiai.” (Saya sudah tidak bisa berjalan).

Mendengar hal tersebut, KH Masykur dengan penuh gemetar mengusap kaki dan tangan Kiai Ali sambil berkata, “Disaksikan saudara-saudara semua, Kiai Haji Ali Maksum…husnul khatimah 3X,” (Kedaulatan Rakyat, 28 November 1989)

Bagi Kiai Ali, Muktamar NU Ke-28 di Krapyak adalah momentum terpenting untuk menentukan pemimpin dan kebijakan NU di semua tingkatan untuk masa selanjutnya sesuai semangat Khittah NU 1926.

Tepat sehari setelah penutupan muktamar, Kiai Ali mengalami koma dan dirawat di RSUP Dr Sardjito sampai wafatnya pada Kamis 7 Desember 1989 selepas azan magrib berkumandang. Sampai detik-detik terakhir hayatnya, KH. Ali Maksum tetap menunjukkan perjuangannya dalam memajukan NU demi kemaslahatan umat Islam di Indonesia.

Label: