Namanya sebagaimana tercantum dalam identitas kewarganegaraan beliau adalah Najib Mamba’ul Ulum. Sedangkan nama beliau sebagaimana penuturan ayahanda beliau adalah Najib Zamzamudin. Para santri menyebut beliau dengan panggilan Abah Najib. Sedangkan tamu, sahabat, kolega dan jamaah majlis beliau menyebut beliau dengan Gus Najib.
Beliau dilahirkan pada hari Selasa Pon, tanggal 5 Januari 1971, di Dusun Mlangi Kelurahan Nogotirto Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dusun Mlangi terletak di arah barat laut kraton Yogyakarta. Jarak dari kraton kurang lebih 9,4 km. Dusun ini merupakan sebuah wilayah yang memiliki akar sejarah yang kuat di Yogyakarta. Di sana terdapat bangunan masjid yang disebut sebagai Masjid Pathok Negoro dan makam Mbah Nur Iman, seorang ulama yang masih merupakan keluarga Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Di Mlangi terdapat beberapa pesantren dan memiliki tata kehidupan yang religius. Oleh karenanya, anak-anak kecil yang lahir dan tumbuh di sana hidup dalam suasana keagamaan dan keilmuan yang kuat. Terlebih mereka yang lahir dari keluarga pengasuh pesantren.
Di masa kecil beliau, KH Najib mendapatkan pengajaran langsung dari kedua orang tua beliau. Beliau juga menyelesaikan pendidikan dasar di sekolah formal. Hanya saja, ijazah sekolah dasar beliau ini tidak diambil. Orang tua beliau memang lebih mementingkan pendidikan di pesantren daripada pendidikan di sekolah formal. Bagi sebagian besar masyarakat, mungkin sikap yang demikian dianggap sebagai sikap yang kolot. Akan tetapi, dapat dibuktikan bahwa meskipun tidak mengenyam pendidikan formal yang tinggi, putra dan putri KH Salimi tumbuh dewasa dengan pengetahuan, wawasan, dan pergaulan yang luas.
KH Najib Salimi dilahirkan dari keluarga pengasuh pesantren. Ayahanda beliau, KH Salimi, adalah pengasuh Pondok Pesantren API (Asrama Perguruan Islam) As-Salimiyyah. Hingga tulisan ini dibuat, ayahanda dan ibunda beliau masih mengasuh pesantren tersebut. Ibunda beliau bernama Nyai Bunyanah, seorang penghafal al-Qur’an, putri dari seorang Kyai besar di Mlangi, yaitu K. Masduqi, pengasuh Pondok Pesantren As-Salafiyyah Mlangi.
KH Salimi adalah santri dari KH Chudlori, pendiri dan pengasuh pertama Pesantren Tegalrejo Magelang. Beliau adalah seorang santri yang loyal. Seluruh putra beliau kemudian menimba ilmu dari pesantren yang sama. Bisa dikatakan bahwa keluarga KH Salimi adalah keluarga santri Tegalrejo Magelang.
Garis silsilah keluarga KH Najib dari ayah dan ibu beliau bersambung kepada Mbah Nur Iman. Beliau adalah kakak sulung dari Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengkubuwono I (1717-1792). Nama beliau adalah BPH (Bendara Pangeran Haryo) Sandiyo. Mbah Nur Iman adalah sosok ulama yang menurunkan banyak tokoh pejuang dan ulama di wilayah Jawa.
KH Najib adalah anak kedua dari tujuh orang bersaudara. Tiga saudara laki-laki beliau adalah K. Ahmad Nasihin, K. Na’imul Wa’in, dan K. Nurcharist Madjid. K. Na’im tinggal dan mengasuh pesantren di daerah Dayakan Purwomartani Kalasan Sleman. Sedangkan kedua saudara laki-laki beliau yang lain tinggal dan mengajar di pesantren ayahanda mereka. Tiga saudara perempuan beliau yaitu Ning Isna, Ning Ilvin, Ning Asna. Ketiganya mendapatkan suami dari keluarga pesantren juga. Ning Isna diperistri K. Mabarun, pengasuh Pesantren Al-Miftah Mlangi. Ning Ilvin diperistri K. Misbah, dari Pesantren Al-Falahiyyah Mlangi. Sedangkan Ning Asna diperistri K. Baidlowi, putra KH. R. Mastur, pengasuh pesantren di Tempuran Magelang. K. Baidlowi bersama Ning Asna kemudian tinggal dan mengasuh Pesantren Ar-Rohmah di Kleben Pendowoharjo Sleman. Dapat dikatakan bahwa KH Najib beserta saudara-saudara, dan ipar-iparnya adalah para penggerak pendidikan di pesantren. KH Najib sendiri memperistri Nyai Hj. Siti Chamnah, putri KH Khudlori Abdul Aziz, pengasuh Pesantren Al-Anwar di Ngrukem Sewon Bantul.
KH Najib sangat menyayangi para adiknya, dan sangat peduli dengan cita-cita dan harapan mereka. Diantara para saudaranya, beliau adalah salah seorang anak yang paling mampu meluluhkan hati sang ayahanda.
Setelah menamatkan SD pada tahun 1985, beliau dikirim belajar ke pesantren API (Asrama Perguruan Islam) Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh KH Abdurrahman Chudlori. Beliau adalah seorang panutan bagi KH Najib, terutama dalam semangat menyebarkan ilmu dan pengabdian.
Di pesantren inilah beliau benar-benar melakukan prihatin bahkan hingga badan kurus dan kusut. Pada suatu kondisi sakit, beliau pernah berdoa meminta kesembuhan jika saja hidup beliau memang lebih bermanfaat, dan sebaliknya jika memang hidup beliau memang tiada guna maka lebih baik sudahi saja.
Beliau belajar di Magelang hingga tahun 1992. Beliau harus pulang karena harus membantu orang tua beliau yang menghadapi ujian besar, yaitu berpindahnya pesantren dari Dusun Mlangi ke Dusun Cambahan di tahun 1990.
Meskipun terhitung sebentar untuk ukuran menimba ilmu di pesantren Tegalrejo, namun beliau memiliki kedekatan yang cukup erat dengan Pak Dur, atau KH Abdurrahman Chudlori. Pak Dur adalah pembicara yang wajib diundang dalam setiap pengajian akhir tahun di pesantren KH Najib. Bahkan setelah Pak Dur wafat, putra beliau yaitu KH Izzuddin Abdurrahman ditetapkan sebagai pembicara yang wajib diundang.
Setelah tidak lagi belajar di Magelang, KH Najib menghadapi babak baru dalam kehidupan beliau. Beliau dituntut untuk mengabdi kepada orang tua beliau. Beliau membantu keberlangsungan kegiatan di pesantren ayahanda beliau sekaligus berinteraksi dengan berbagai orang yang datang ke Cambahan dengan berbagai keperluan.
Pada masa ini, beliau gemar berinteraksi dengan orang lain, dan mengajak mereka untuk lebih dekat dengan dunia pesantren. Beliau berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai lapisan mulai dari yang buruh, mahasiswa, pejabat, hingga akademisi. Pergaulan beliau inilah yang menjadikan beliau memiliki wawasan yang luas dan mengenal berbagai karakter orang.
Beliau gemar berdagang. Beliau termasuk seseorang yang memiliki keyakin kuat bahwa segala apapun usaha pasti akan menuai hasil meski bukanlah yang diasumsikan ataupun diharapkan di awal.
Beliau sering mengikuti dan mengadakan kegiatan forum diskusi dengan para aktivis mahasiswa ataupun gerakan sosial. Seringkali beliau mengadakan forum diskusi kemudian diikuti dengan kegiatan ziarah ke makam para ulama.
Di penghujung abad 20, beliau mempersunting Nyai Hj. Chamnah, sebuah babak baru kehidupan beliau. Tidak lama setelah pernikahan beliau, ayahanda beliau, KH Salimi, diserahi untuk mengelola sebuah komplek bangunan di tengah kota Yogyakarta untuk dijadikan sebuah pesantren. Akhirnya, pesantren inilah yang kemudian dikelola oleh KH Najib Salimi.
PP Al-Luqmaniyyah didirikan oleh seorang pengusaha keturunan Batak bernama H. Luqman Jamal Hasibuan. Pesantren ini diresmikan pada tanggal 9 Februari 2000 dengan pengasuhnya adalah KH Najib Salimi yang pada saat itu baru menginjak usia 29 tahun.
Pesantren ini berada di tengah kota Yogyakarta, tepatnya di Kecamatan Umbulharjo. Awalnya, pesantren ini diperuntukkan untuk mereka yang hanya hendak menuntut ilmu agama saja. Akan tetapi, setelah beberapa bulan berjalan, justru yang tertarik masuk adalah mereka yang kuliah di kampus-kampus di Yogyakarta.
Pesantren ini cepat mengalami perkembangan sebanding dengan pengaruh KH Najib Salimi di kehidupan keberagamaan di Kota Yogyakarta yang juga semakin meluas. Jamaah luar pesantren dari masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya mulai mengambil manfaat dengan mengikuti kegiatan mujahadah pada setiap malam selasa.
Orang-orang mulai banyak yang berdatangan ke pesantren sekedar ingin sowan KH Najib dan berbagi cerita kehidupan mereka masing-masing. KH Najib menerima tamu pada tiap malamnya hingga dini hari. KH Najib berprinsip bahwa tamu yang datang adalah sumber keberkahan meski datang dengan permasalahan. Tamu yang datang sangat beragam dan semua diperlakukan oleh KH Najib selayaknya orang dekat.
Pada tahun 2006 KH Najib mendapatkan amanah sebagai Rais Syuriyah Nahdlatul Ulama Cabang Kota Yogyakarta. Dengan amanah ini kemudian peran beliau dan pesantren beliau semakin dirasakan masyarakat Kota Yogyakarta khususnya nahdliyyin. Para pejabat pemerintah pun berdatangan mulai dari yang sekedar silaturahmi dan perkenalan hingga yang akhirnya ikut dalam kegiatan pengajian beliau.
Sebenarnya, tidak sedikit tamu yang datang ke tempat beliau dan minta bantuan beliau kemudian pada akhirnya menyusahkan beliau. Akan tetapi, beliau sama sekali tidak pandang bulu dalam membantu dan mendidik orang. Beliau berkeyakinan bahwa setiap orang berhak mendapatkan tarbiyah, meskipun ia datang dengan itikad yang tak baik. Seringkali beliau mendapat kecaman dan fitnah dari orang lain. Namun semua itu adalah kepahitan yang kelak akan diganti dengan kebaikan.
Bagi para santri, beliau adalah sosok orang tua yang penyayang dan tahu akan apa yang dibutuhkan oleh anak didiknya. Para santri menyebut beliau dengan sebutan Abah Najib.
Beliau wafat pada Jumat dini hari tanggal 30 September 2011 di RS PKU Muhammadiyah Kauman Yogyakarta. Lima hari sebelumnya beliau mengalami kecelakaan di Jalan Lingkar Kudus Jawa Tengah. Pada saat itu, beliau sedang dalam perjalanan pulang setelah ziarah ke makam Sunan Muria di Kudus.
Beliau meninggal di usia 40 tahun, usia yang terbilang cukup muda. Tepat seminggu sebelum meninggal, beliau diundang dan hadir dalam lokakarya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengangkat tema terkait tentang hilangnya spiritualitas di institusi formal pendidikan Islam. Beliau diundang karena kapasitas beliau sebagai tokoh pesantren.
Beliau meninggalkan satu istri, Nyai Hj. Siti Chamnah, dan tiga orang anak. Dua putranya bernama Muhammad Abdullah Falah dan Muhammad Alwy Masduq, dan putri bungsu bernama Abdah Iqtada. Sepeninggal beliau, pesantren diasuh oleh istri beliau dan yang terjadi justru jumlah santri menjadi dua kali lipat.
Jenazah beliau dikebumikan pada siang hari dari wafat beliau. Letak makam beliau di sebelah timur makam Mbah Nur Iman di Mlangi. Ribuan orang datang untuk melayat, mensalati, dan mengantarkan jenazah beliau. Bahkan, ada yang menyebutkan bahwa baru pada saat pemakaman KH Najib lah hampir seluruh warga Mlangi keluar untuk mengikuti prosesi pemakaman seseorang. Yang demikian ini tidak lain karena kedekatan almarhum dengan setiap orang yang beliau kenal. (Irfan Antono, S.Hum.)